sebuah catatan perjalanan belajar menjadi manusia

Jika Aku Tahu Umurku Tak Lama Lagi

Jika aku tahu umurku tak lama lagi, maka aku akan lebih banyak menulis. Aku tidak ingin semua pemikiran, ide dan gagasanku ikut terbenam bersama raga tanpa ada yang mengetahuinya. Aku ingin menjadi kenangan dan memberi manfaat bagi orang-orang termasuk mereka yang tak ku kenal. Aku akan menulis tentang segala hal, karena hanya hal itulah yang bisa kulakukan dengan maksimal. Aku akan menulis tentang keluarga, tentang cinta, tentang perenungan-perenungan di dalam jiwa. Aku akan menuliskan terimakasih yang tak terhingga pada orang-orang di sekitar yang berjasa, termasuk pada mereka yang membuatku menderita karena mereka mengajarkanku segalanya.

Perayaan Ulang Tahun Bukan Untukmu, Tapi Untuk Ayah dan Ibu

Di tengah suasana menunggu rapat dimulai, seorang teman bercerita kegirangan tentang ulang tahun anakknya yang tinggal menghitung hari. Ia berkata pada saya,
Hari itu 4 tahun yang lalu, saya berada di meja operasi
Mengingat-ingat hal tersebut kini, saya terdiam dan berpikir. Apakah ketika saya ulang tahun hari ini, Ibu saya juga memikirkan hal yang sama?


Belum Tentu

Belum tentu orang yang kau irikan itu bahagia sebahagia dirimu. Siapatahu ia hanya lebih pintar menyembunyikan kesedihannya. 

Belum tentu orang yang kasar padamu adalah orang yang jahat. Siapatahu ia hanya ingin penghargaan yang tak pernah bisa didapatkannya jika ia berperilaku baik. 

Belum tentu ia yang kaya selalu berfoya-foya. Siapatahu sedekahnya banyak dan tak diumbar di luar sana. Kebaikannya banyak tapi tidak terpublikasikan media. 

Bekerja untuk Hidup

Kita tidak pernah membayar atau membeli sesuatu dengan uang. Uang itu hanyalah sebuah benda. Kertas. Apa yang membuatnya bernilai adalah apa yang kita berikan untuk mendapatkan uang tersebut. Ada yang membayarnya dengan keringat, pemikiran, waktu, ada pula yang membayarnya dengan kebahagiaan (jika ia menyukai pekerjaannya).

Untuk orang seperti saya yang bekerja kantoran dari pagi hingga sore, seringkali lembur lalu pulang dengan rasa letih, kemudian mengulanginya esok hari dan selamanya, --hingga saya lupa saya manusia atau hanya boneka--, saya merasa membeli/membayar sesuatu bukan dengan uang. Tapi dengan waktu yang saya habiskan duduk menatap monitor dan mengerjakan sederet pekerjaaan yang takkan habis dan berulang. Untuk kemudian pulang dengan rasa letih hingga lupa sebenarnya hidup untuk bekerja ataukah bekerja untuk hidup?


Tidak Ada yang Gratis

Dulu saat masih anak-anak ingin cepat dewasa agar bisa membuat keputusan sendiri, setelah dewasa malah ingin kembali menjadi anak-anak karena tidak banyak yang harus dipikirkan. 

Saat belum menikah ingin cepat menikah agar bisa bersama selamanya, setelah menikah malah ingin kembali lajang agar waktu untuk diri sendiri lebih banyak. 

Waktu jadi pegawai ingin jadi bos agar bisa duduk tenang leha-leha, setelah jadi bos lebih baik jadi pegawai saja kerja fisik dan bertemu klien namun tidak pusing memikirkan konsep agar tak banyak komplain. 


Luka Fisik Vs Luka Bathin

Jika seseorang terjatuh saat berjalan dan mengalami luka pada bagian tubuhnya, maka akan banyak orang terdekat yang mengasihinya datang menolong. Lain halnya jika ia mengalami suatu masalah lalu batinnya jatuh dan terluka. Orang terdekatnya bisa menganggapnya hal yang biasa saja dan akan sembuh dengan sendirinya. Nasihat paling sering diberikan adalah "sabar... Sabar" lalu mereka berlalu dengan perlahan. Haruskah ia mematahkan dua tangannya dulu untuk mendapat kepedulian?

Luka di batin lebih berbahaya dari luka fisik. Jika kita terjatuh secara fisik sudah jelas sakitnya dan kemungkinan bisa disembuhkan atau tidaknya, maka jika batin kita yang luka selain sulit menanganinya bisa mengakibatkan penderitaan berkepanjangan bahkan kematian yang tiada terduga. 

Banyak kita dengar tindakan bunuh diri dipicu oleh hal-hal yang sepele. Diejek, diputus pacar, tidak dibelikan sesuatu, dan banyak hal remeh lainnya. Sebenarnya tidak sedangkal itu latar belakangnya. Jika kita runtut lebih jauh dan mencari akar masalahnya, hal-hal tersebut hanyalah pemicu yang merupakan di titik klimaks dari pertahanan mental sebuah individu. Tidak usah mencibir, mengatakan goblok, bodoh, tidak bersyukur dan sebagainya pada pelaku, karena siapatahu kita merupakan salah satu yang berperilaku mirip dengan orang-orang yang ikut andil di dalam melukai hati orang itu. 

Kita menciptakan sebuah pergaulan yang biasa menggunakan kekurangan fisik sebagai candaan. Kita juga sering mengungkapkan pernyataan yang tanpa sadar membanding-bandingkan. Pemberian nama alias berdalih keakraban, Gossip, sindiran, ejekan yang kita lontarkan bertubi-tubi dengan bungkus guyonan. 

Nyamankah ia yang kita perlakukan seperti itu? Belum lagi pengabaian kita yang total karena kita tak punya banyak waktu untuk orang tersebut karena kesibukan kita dan hal lainnya yang lebih kita prioritaskan. 

Sebuah pengabaian pada luka batin adalah hal yang berbahaya. Jika kita tak mengubah bagaimana perilaku kita akan semakin banyak korban lainnya. Luka fisik mungkin akan berbekas, tapi takkan terasa sakit lagi. Luka batin muncul setiap kali teringat dan sakitnya bahkan bisa meningkat kadarnya jika tak tertangani segera. Luka fisik jarang yang menimbulkan luka batin, namun luka batin sering bermanifestasi ke fisik. Itulah mengapa ada penyakit-peyakit psikosomatis dalam dunia kesehatan. 


Kita berperilaku mirip seperti orang tua yang lebih khawatir anaknya tidak makan daripada anaknya tidak bermain. Kita akan marah-marah jika si anak tidak makan tapi tak melakukan apapun ketika ia mengeluh bosan dan murung. Secara fisik anak-anak akan bertahan tidak makan, namun secara mental ketika anak sudah tak ingin lagi bermain dan tak ceria seperti biasanya, hal yang menjadi pemicunya akan terkenang hingga dewasa. Berapa banyak kesedihan masa kecil kita masih teringat hingga kini? Berapa besar pengaruh kata-kata sepele seseorang di masa lalu mengganggu pikiran kita hingga kini? 

Mari Berpikir yang baik, berkata yang baik, berbuat yang baik pada semua orang. Walaupun orang lain terlihat baik-baik saja, kita tak pernah tahu pertarungan batin apa yang ia hadapi sebenarnya. Dan jangan sampai kita menjadi salah satu penoreh luka batin yang akan ia ingat selamanya. Jadilah penyembuh, jadilah perawat. Bebaskan batinnya namun sebelum itu, batin kita perlu menjadi bebas terlebih dahulu. 

Mari Memotret Kehidupan

Kita membawa 2 buah kamera kemanapun kita pergi. Kamera yang memiliki resolusi dan fitur yang berbeda-beda tergantung dari si empunya. Kamera yang bisa berkembang kemampuannya menjadi tak terbatas walaupun ukurannya tak berubah. Dua kamera tersebut disebut dengan mata. Ia bisa melihat, ia bisa memotret, bahkan ia bisa langsung mencetak foto dan meyimpannya. 

Hasil foto yang tersimpan sesuai dengan aliran dari sang fotografer. Ada dominan menyukai kebahagiaan, ada pula yang memotret kesengsaraan. Namun foto adalah foto. Kejadian adalah kejadian, yang bisa menimbulkan banyak penafsiran. Hal yang membuat berbeda adalah caption yang ditambahkan. 

Derita Ibu Kunti

Seseorang manusia yang paling berani yang hanya pernah saya ketahui pernah hidup di dunia melalui cerita adalah Ibu Kunti. Keberanian dan kekuatannya menurut saya mengalahkan siapapun yang diproklamirkan paling berani. Ia adalah yang berani di atas pemberani. Ibu Kunti dalam cerita Mahabrata mengalami penderitaan demi penderitaan di dunia. Ditinggal mati oleh suaminya, terpisahkan oleh anak pertamanya, menghadapi penghinaan dan pengasingan di hutan, menyaksikan kematian cucu-cucunya, dan masih banyak derita fisik dan bathin lainnya. 


Kasihi Musuhmu


Dari manakah kita belajar untuk sabar selain dari orang-orang yang hadir dan menyulitkan kehidupan kita? 

Dari manakah kita mengerti betapa pentingnya menjaga kepercayaan selain dari orang-orang yang mengkhianati kita? 

Dari manakah kita tahu bahwa sebuah kata-kata bisa menyakitkan hati kecuali kita mengalaminya sendiri? 

Dari manakah kita sadar bahwa terimakasih dan cinta lebih baik diungkapkan kecuali kita pernah menyesal tak melakukannya? 

Dari manakah pelajaran bahwa marah meninggalkan luka selain dari merasakan luka itu sendiri? 

Kadang kita merasa kesal mengapa sepertinya hidup orang lain diciptakan untuk memberatkan kehidupan kita. Kadang kita merasa sebaiknya tak pernah mengenal seseorang atau lebih ekstremnya lagi, kita berharap ia tak pernah dilahirkan! Jika hal tersebut terjadi, siapakah yang akan mengajarkan kita kebijaksanaan? Mampukah kita hanya belajar teori tanpa aplikasi? 

Kita berkoar-koar harus mengasihi sesama, namun ketika kasih tak mendapat balasan yang sama, caci maki yang berkumandang dalam diri. Kita berbondong-bondong pergi ke rumah ibadah dan memamerkan apa yang bisa dipersembahkan, tapi ketika dicoba sedemikian rupa, malah berdoa agar orang lain cepat mendapat balasannya. Inikah kasih yang diajarkan Yang Maha itu? 

Sebaiknya kita kembali belajar pada  anak-anak. Begitu seringnya mereka bermusuhan, namun hanya sekejap mata sudah saling berpelukan. Kita sebagai orang dewasa yang dengan jumawa mengajarkan kasih dan bagaimana seharusnya berperilaku pada anak-anak kita malah memberikan tauladan menebar kebencian bagi orang-orang menyakiti atau berpemikiran tak sejalan.

Lalu, apakah artinya kita harus mentoleransi perbuatannya? Ketika ketidakadilan itu menghampiri kita, perilaku buruk diberikan pada kita, mari membela diri seperlunya dan mengambil tindakan serasionalnya. Tapi harus diingat pula, tindakan menyakitkan biasanya timbul dari hati yang tersakiti pula. Baik itu di masa sekarang, maupun di masa lalu. Ia yang kita cap jahat, bisajadi tak sedemikian jahat seperti yang ada di pikiran kita. Ia hanya memberi apa yang bisa ia beri, karena ia tak memiliki apapun selain kejahatan, maka ia berikan itu semuanya. 

Sesuatu... Jika memang harus terjadi menurut-Nya, memang akan terjadi pada kita tanpa kita bisa mengelaknya. Namun ketika semua sudah benar-benar berakhir dan berlalu, kita baru akan menyadari bahwa orang yang kita beri label buruk juga turut andil dalam tingkatan kesadaran diri. 

Emosi itu Perlu

Emosi bukanlah rasa marah saja. Beberapa orang salah menggunakan kata emosi dalam konteks bahasa percakapan sehari-hari, contohnya "kamu bikin saya emosi!" hal itulah yang menyebabkan salah tafsir dan mengidentikkan emosi dengan marah. 

Emosi adalah suatu perasaan yang dimiliki oleh manusia yang merupakan efek dari suatu peristiwa atau kejadian. Baik itu kejadian di masa lalu, masa kini maupun masa depan. Kadang kita ingin menghilangkan suatu emosi tertentu karena bagi kita ia buruk, jelek ataupun menyusahkan. Padahal semua emosi itu penting, pada kadarnya masing-masing. 

Untuk mempermudah pengertiannya, mari kita tengok film Inside Out. Inside out adalah satu film tentang emosi yang sangat cerdas dan disajikan dengan menarik. Tak seperti film-film psikologi lainnya yang ceritanya rumit dan berat, tema inti dari film ini bahkan disajikan dengan film kartun yang lucu. Dalam film itu dikisahkan emosi-emosi yang kita dengar di dalam kepala kita memiliki wujud dan bercakap-cakap satu sama lainnya.

Custom Post Signature

Custom Post  Signature