sebuah catatan perjalanan belajar menjadi manusia

Kasihi Musuhmu


Dari manakah kita belajar untuk sabar selain dari orang-orang yang hadir dan menyulitkan kehidupan kita? 

Dari manakah kita mengerti betapa pentingnya menjaga kepercayaan selain dari orang-orang yang mengkhianati kita? 

Dari manakah kita tahu bahwa sebuah kata-kata bisa menyakitkan hati kecuali kita mengalaminya sendiri? 

Dari manakah kita sadar bahwa terimakasih dan cinta lebih baik diungkapkan kecuali kita pernah menyesal tak melakukannya? 

Dari manakah pelajaran bahwa marah meninggalkan luka selain dari merasakan luka itu sendiri? 

Kadang kita merasa kesal mengapa sepertinya hidup orang lain diciptakan untuk memberatkan kehidupan kita. Kadang kita merasa sebaiknya tak pernah mengenal seseorang atau lebih ekstremnya lagi, kita berharap ia tak pernah dilahirkan! Jika hal tersebut terjadi, siapakah yang akan mengajarkan kita kebijaksanaan? Mampukah kita hanya belajar teori tanpa aplikasi? 

Kita berkoar-koar harus mengasihi sesama, namun ketika kasih tak mendapat balasan yang sama, caci maki yang berkumandang dalam diri. Kita berbondong-bondong pergi ke rumah ibadah dan memamerkan apa yang bisa dipersembahkan, tapi ketika dicoba sedemikian rupa, malah berdoa agar orang lain cepat mendapat balasannya. Inikah kasih yang diajarkan Yang Maha itu? 

Sebaiknya kita kembali belajar pada  anak-anak. Begitu seringnya mereka bermusuhan, namun hanya sekejap mata sudah saling berpelukan. Kita sebagai orang dewasa yang dengan jumawa mengajarkan kasih dan bagaimana seharusnya berperilaku pada anak-anak kita malah memberikan tauladan menebar kebencian bagi orang-orang menyakiti atau berpemikiran tak sejalan.

Lalu, apakah artinya kita harus mentoleransi perbuatannya? Ketika ketidakadilan itu menghampiri kita, perilaku buruk diberikan pada kita, mari membela diri seperlunya dan mengambil tindakan serasionalnya. Tapi harus diingat pula, tindakan menyakitkan biasanya timbul dari hati yang tersakiti pula. Baik itu di masa sekarang, maupun di masa lalu. Ia yang kita cap jahat, bisajadi tak sedemikian jahat seperti yang ada di pikiran kita. Ia hanya memberi apa yang bisa ia beri, karena ia tak memiliki apapun selain kejahatan, maka ia berikan itu semuanya. 

Sesuatu... Jika memang harus terjadi menurut-Nya, memang akan terjadi pada kita tanpa kita bisa mengelaknya. Namun ketika semua sudah benar-benar berakhir dan berlalu, kita baru akan menyadari bahwa orang yang kita beri label buruk juga turut andil dalam tingkatan kesadaran diri. 

Be First to Post Comment !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature