Dari manakah kita belajar untuk sabar selain dari orang-orang yang hadir dan menyulitkan kehidupan kita?
Dari manakah kita mengerti betapa pentingnya menjaga kepercayaan selain dari orang-orang yang mengkhianati kita?
Dari manakah kita tahu bahwa sebuah kata-kata bisa menyakitkan hati kecuali kita mengalaminya sendiri?
Dari manakah kita sadar bahwa terimakasih dan cinta lebih baik diungkapkan kecuali kita pernah menyesal tak melakukannya?
Dari manakah pelajaran bahwa marah meninggalkan luka selain dari merasakan luka itu sendiri?
Kadang
kita merasa kesal mengapa sepertinya hidup orang lain diciptakan untuk
memberatkan kehidupan kita. Kadang kita merasa sebaiknya tak pernah
mengenal seseorang atau lebih ekstremnya lagi, kita berharap ia tak
pernah dilahirkan! Jika hal tersebut terjadi, siapakah yang akan
mengajarkan kita kebijaksanaan? Mampukah kita hanya belajar teori tanpa
aplikasi?
Kita berkoar-koar
harus mengasihi sesama, namun ketika kasih tak mendapat balasan yang
sama, caci maki yang berkumandang dalam diri. Kita berbondong-bondong
pergi ke rumah ibadah dan memamerkan apa yang bisa dipersembahkan, tapi
ketika dicoba sedemikian rupa, malah berdoa agar orang lain cepat
mendapat balasannya. Inikah kasih yang diajarkan Yang Maha itu?
Sebaiknya
kita kembali belajar pada anak-anak. Begitu seringnya mereka
bermusuhan, namun hanya sekejap mata sudah saling berpelukan. Kita
sebagai orang dewasa yang dengan jumawa mengajarkan kasih dan bagaimana
seharusnya berperilaku pada anak-anak kita malah memberikan tauladan
menebar kebencian bagi orang-orang menyakiti atau berpemikiran tak
sejalan.
Lalu, apakah artinya
kita harus mentoleransi perbuatannya? Ketika ketidakadilan itu
menghampiri kita, perilaku buruk diberikan pada kita, mari membela diri
seperlunya dan mengambil tindakan serasionalnya. Tapi harus diingat
pula, tindakan menyakitkan biasanya timbul dari hati yang tersakiti
pula. Baik itu di masa sekarang, maupun di masa lalu. Ia yang kita cap
jahat, bisajadi tak sedemikian jahat seperti yang ada di pikiran kita.
Ia hanya memberi apa yang bisa ia beri, karena ia tak memiliki apapun
selain kejahatan, maka ia berikan itu semuanya.
Sesuatu...
Jika memang harus terjadi menurut-Nya, memang akan terjadi pada kita
tanpa kita bisa mengelaknya. Namun ketika semua sudah benar-benar
berakhir dan berlalu, kita baru akan menyadari bahwa orang yang kita
beri label buruk juga turut andil dalam tingkatan kesadaran diri.