sebuah catatan perjalanan belajar menjadi manusia

Kisah Seorang Anak, Pantai dan Lambang Swastika

Seorang anak duduk di dalam mobil Kijang keluaran tahun 1990 berdesakan dengan anak-anak lainnya. Di dalam pikirannya sudah terbayang hamparan pasir dan laut yang luas tanpa batas. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, nafasnya lebih cepat namun tidak memburu. Perjalanan yang hanya 15 menit pun terasa terlalu lama untuk dinikmatinya dalam diamnya yang biasa.

Jalan yang berkelok dan berbatu menimbulkan goncangan-goncangan kecil di dalam mobil. Anak-anak lain yang rata-rata lebih tua dari dirinya terlihat asyik bercengkrama satu sama lain. Beberapa ada yang bernyanyi, oh nyanyian pujian kepada Tuhan!
Matanya melihat ke luar jendela. Pohon-pohon tampak bergerak dilihatnya dari dalam sana. Dia masih tetap diam namun kali ini pikirannya menerawang. Dilihatnya kembali dirinya yang dulu kecil, lebih kecil dari saat ini dan berlarian di pasir. 

Diri kecilnya berlari kesana-kemari tanpa henti, memunguti kerang dan batu-batu cantik berwarna putih. Sementara, suara ombak menenggelamkan pembicaraan ayah dan ibunya yang duduk melihat dari kejauhan. Dirinya yang kecil kembali ke tempat duduk ayah dan ibunya beberapa saat kemudian setelah kerang dan batu-batu itu sudah tidak cukup lagi di genggaman. Ia mulai duduk dan membuat lubang di atas pasir dengan mengeruk-ngeruknya dengan tangan. 

Entah ayah ataukah ibunya yang bertanya kemudian, dia sudah lupa. Mereka menanyakan ingin membuat apa dengan pasir-pasir itu? Lalu ia menjawab,
Aku ingin mengubur kerang-kerang ini di pasir dan menandainya. Seandainya aku kembali, aku bisa menemukan mereka disini
Ayah dan ibunya tertawa dan berkata itu tidak akan berhasil. Mereka, kerang-kerang dan batu itu, katanya akan hanyut dengan gelombang ombak di malam hari, di waktu para nelayan pergi ke laut untuk mencari ikan. 

Namun ia tetap melakukannya dan berbisik, "Diam di sini ya, aku akan kembali lagi". Kerang-kerang itu adalah harapan. Kerang-kerang yang dikubur itu adalah penanda. Cepat atau lambat ia akan kembali ke sana. Kembali ke pantai, kembali ke ombak, kembali ke laut yang tenang. 

Mobil Kijang kini berguncang cukup kencang membuyarkan kenangannya. Sebagian anak merasakannya sebagai keseruan. Ia tidak sabar untuk melihat pantai. Ini pertama kalinya ia ke pantai yang akan dituju. Katanya lautnya jernih, pasirnya putih bersih, akankah sama indahnya dengan pantai masa kecilnya?

Sesampainya di tempat parkir, anak-anak lain berebut turun. Ia juga turun dengan tergesa tidak sabar dan menginjakkan kakinya di pasir. Laut yang biru kehijauan berbataskan langit yang juga biru namun lebih muda dan terang. Batu karang yang memantulkan sinar pagi matahari, serta pasir yang tak terhingga, terhampar menunggu untuk dimainkan.  

Kakak-kakak yang mengajak mereka, anak-anak itu kesana menyuruh mereka semua berkumpul. Sebagian besar anak yang ikut adalah anak yang lebih tua 2-3 tahun darinya. Bahkan ada yang sudah SMP padahal dia sendiri masih SD. Kakak pembina memimpin untuk berdoa dan memberikan anak-anak waktu bermain sepuas-puasnya. Beberapa saat kemudian, mereka diinstruksikan membentuk kelompok berpasangan dan membuat kreasi dari pasir. Kreasi itu bebas boleh apa saja dan nanti diceritakan ke teman-teman lainnya. 

Ketika dibubarkan ia langsung saja mengumpulkan kerang-kerang, bernostalgia dengan dirinya yang kecil dahulu. Setelah puas, ia mencari teman untuk diajak berpasangan. Pasangannya adalah tetangga di depan rumahnya dan mereka memang sering main bersama.   

Ia melihat kelompok lain sudah memulai kreasi pasirnya. Ternyata semua memiliki bakat seni, sehingga apa yang mereka buat bagus sekali. Ada istana pasir, ada gambar kura-kura, ada gambar awatara, dan lainnya yang membuat dirinya rendah diri. 

Di beberapa menit yang tersisa, ia terpikir ide untuk membuat lambang Swastika. Temannya setuju dan mulai mereka membuat lambang Swastika raksasa dengan bantuan plastik bekas air minum kemasan untuk membentuk pasirnya. 


Swastika (卐) adalah salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks. Kata Swastika terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata Swastyastu (Semoga dalam keadaan baik). Swastika juga banyak mengandung arti, bila searah dengan arah jarum jam berarti mengandung hal-hal yang bersifat atau mengandung kebaikan. - Wikipedia

Saatnya penjurian tiba. Setiap kelompok memiliki cerita yang unik dan menarik tentang apa yang telah dibuat. Bahkan ada yang menciptakan cerita fiksi seperti dongeng kerajaan dan istana. Ia melihat dan memperhatikan paparan temannya satu persatu dan merasa karyanya paling jelek dari yang lainnya. Ketika telah tiba gilirannya bercerita giliran terakhir, ia hanya mengatakan beberapa kalimat saja, 
Saya membuat ini karena saya tidak tahu apa lagi yang saya buat untuk mengucapkan syukur saya bisa ke pantai ini. Semoga dengan ini, Dia bisa melihat dari atas sana saya mengucapkan banyak terimakasih.   
Kakak yang mendengarkan penjelasan anak itu terdiam beberapa saat, kemudian mengumpulkan mereka, anak-anak itu semua dalam satu lingkaran. 

Anak-anak duduk bersila, melingkar dan tetap tidak bisa diam. Kakak itu tersenyum dan mulai berkata bahwa ia sudah melihat semua kreasi yang bagus-bagus dengan cerita yang sangat menarik namun ada satu yang dia sukai. Ia berkata :
Karya terbaik adalah Swastika ini (menunjuk tumpukan pasir disebelahnya), bukan pada indah bentuknya tapi pada maknanya.   
Anak itu terdiam, tidak menyangka karyanya mejadi karya terbaik. Ditolehnya teman-teman yang lain tampak memberikan mimik tidak terima, namun senyuman teduh sang kakak membuatnya percaya diri. Anak itu tidak peduli lagi apa yang dikatakan sang kakak tentang rasa syukur, terimakasih dan sebagainya, ia hanya menyimpan bahagia bahwa hal biasa yang telah dilakukannya bisa menjadi berharga di mata orang dewasa. 

Hari beranjak terik dan mereka semua pulang.

Di perjalanan ia melihat ke luar jendela dan tidak pernah menyangka kisah ini terus terbawa hingga puluhan tahun setelahnya, ikut bersamanya tumbuh dewasa.

dan setiap dirinya lupa berterimakasih, dia akan pergi ke pantai. Menemui-Nya.

Be First to Post Comment !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature