Telepon
langsung berbunyi ketika aplikasi sudah menunjukkan data supir yang
menerima orderan, kali ini acara sudah selesai dan saya harus kembali ke
Kota Denpasar.
"Halo," saya segera mengangkat telepon dari nomor asing yang tertera di layar handphone.
"Mbak, bisa nunggunya di parkiran saja Mbak, disana banyak taksi yang nganggur, saya takut Mbak"
"Pak, saya di depan, di lobby kesini saja"
"Ada taksi Mbak di depan banyak"
"Mana, gak ada, Pak"
"Ya, Mbak saya minta tolong sekali, tunggu di Parkiran saja ya. Saya udah deket sekali ini"
"Aduhhhh ya ya"
Saya berjalan ke parkiran sedikit menggerutu. Harapan saya mendapatkan supir yang normal pupus sudah. Saya tetap kirimkan screenshoot data supir ke Adek untuk berjaga-jaga. Hahaha...
Saya
melihat aplikasi, di layar tertera dua menit lagi Pak Supir sampai,
saya mencari tempat teduh di bawah pohon di tengah teriknya pukul 14.00
di Kuta saat itu.
Lima
menit sudah berlalu dan Pak Supir tiada berkabar. Saya melihat layar
dan tertera 4 menit lagi Pak Supir sampai di tempat saya. Lho, mengapa
waktunya bertambah, bukannya berkurang?
Saya telepon kembali nomor tersebut.
"Pak dimana?"
"Ini saya sudah masuk, Mbak dimana?"
"Masuk di mana?"
"Lho di Mall nya kan Mbak?"
"Kok Mall Pak, Hotel Pak Hotellll"
"Hah?"
ada jeda sejenak
"Waduh Mbak, maaf-maaf saya kurang teliti lihatnya saya lihat depannya saja langsung berpikir di mall-nya"
"Makanya pakai Maps nya Pak!"
"Iya, sekarang saya kesana Mbak"
"Lagi-lagi bintang 5 abal-abal," saya membatin
Saya teringat cerita pak supir sebelumnya tentang persaingan sesama supir taksi online yang memang ketat. Sistemnya adalah siapa cepat dia yang dapat. Jika orderan di cancel oleh pemesan, maka rating si supir akan turun. Kasihan juga kalau saya cancel.
"Mbak saya sudah di depan lobby"
"Saya di parkiran. Jangan suruh saya balik ke lobby"
"Eh, trus parkiranya dimana ni Mbak?"
"Lurus aja ikutin jalan"
"Ikutin jalan mana Mbak? Ini muter jalannya"
Saya melihat mobil dengan plat mobil seperti tertera di aplikasi yang berjalan perlahan.
"Wah, ini ya Mbaknya?"
"Iya saya itu"
"Eh, bukan-bukan"
Lalu mobil itu meninggalkan saya
"PAK ITU SAYA YANG BAPAK LEWATI!"
"Wah, sori-sori Mbak"
Saya berjalan dan masuk ke dalam mobil yang tadi melewati saya.
Sebelum saya sempat berkata apapun Pak Supir ber sori-sori berkali-kali.
😒 😒 😒
"Mbak gak mau singgah minum dulu?" tanyanya mungkin mau mencairkan suasana
"Gak Pak, saya pengen cepet sampai di rumah," kata saya sambil memeriksa barang bawaan saya.
"Bapak
kenapa sih, takut sama supir taksi yang lain?," tanya saya setelah saya
selesai mengabari Adek bahwa saya sudah diperjalanan pulang agar nanti
dijemput di ujung gang.
"Iya,
namanya juga persaingan Mbak sama supir taksi kovensional. Dulu mereka
sampai anarkis gedor-gedor kaca, diancam lah. Sekarang sudah lebih halus
tapi tetap saja saya tidak enak"
"Oh... laporkan saja Pak"
"Iya sudah kok dilaporkan. Tapi ya namanya mereka rame-rame kan saya takut juga dikeroyok"
"Hmmmm begitu ya. Sudah berapa lama Pak jadi diver?"
"Sekitar 8 bulanan lah. Dulu saya pekerja kantoran, kayak Mbak lah"
"Wah, kok bisa resign Pak? Kerja apa?"
"Dulu saya Manager di perusahaan milik orang Australia. Gaji saya 20-40 juta per bulannya. Tapi, hidup saya tidak damai"
"Gak damai gimana Pak? Gaji segitu waw sekali lho"
"Saya tidak bisa istirahat dengan tenang, Mbak. Setiap hari pikiran saya ruet, malam atau dini hari pun masih diganggu masalah pekerjaan. Hubungan saya dengan keluarga jadi tidak damai juga. Memang sih
Mbak, gajinya besar pasti akan diikuti dengan beban yang besar juga,
tapi saya rasa kedamaian saya dan keluarga jauh lebih penting dari
banyaknya gaji saya itu"
"Ohh...hmmm"
"Selain
itu, namanya pegawai kantoran, pasti ada juga rekan yang tidak suka
ketika kita berhasil di kantor. Belum lagi masalah dengan atasan.
Setinggi-tingginya jabatan di kantor, walaupun pekerjaan adalah hal yang
kita sukai, kita tidak akan mendapatkan kedamaian itu. Di semua tempat
pasti seperti itu, makanya saya resign jadi pegawai dan mulai bekerja sendiri"
"Lalu sekarang?"
"Sekarang,
hidup saya lebih damai dan lebih santai walaupun penghasilan menurun
drastis. Yah, sekarang sekitar 9-15 juta lah per bulan"
"What???" kata saya dalam hati namun tetap memasang tampang biasa saja.
"Kalau
hati damai dan bahagia Mbak, semua kreatifitas muncul. Istri saya, saya
beri modal usaha jajanan di rumah sampai sekarang sudah lumayan bisa
omzetnya 3 juta per bulannya. Dan saya juga ada terpikirkan ide-ide
usaha lainnya nyambi tetap jadi driver"
"Oooo.."
"Tahu seperti ini dari dulu saya jadi driver online. Hahaha"
"Lah kan baru-baru ini programnya"
"Iya Mbak baru 2 tahun. Maksudnya dari sejak berdiri saya gabung gitu"
"Oh, banyak ya yang kovensional beralih online?"
"Wih buanyak sekali Mbak terutama driver-driver yang senior"
"Pak"
"Ya?"
"Berkas saya ketinggalan"
"Hahahahaha.. gimana Mbak, balik?"
"Jalan aja dah Pak, tidak apa," kata saya tersenyum.
Bapak ini begitu damai, begitu happy. Rasanya kalau saya harus memberi 5 bintang di rate nya saya ikhlas.
"Bapak pernah dapat penumpang yang aneh-aneh?"
"Sejauh
ini belum sih Mbak aman saja. Paling jauh saya anter ke Negara, itu
satu keluarga mau sembahyang ke kampung. Selebihnya semua aman"
"Oh.. gak ada kebijakan perusahaan yang meberatkan gitu?" tanya saya teringat cerita Pak Supir yang sebelumnya.
"Gak ada Mbak malah saya banyak dapat bonus"
"Oh yang jam malam itu ya?"
"Iya"
"Gak capek Pak sampai malam begitu?"
"Nah
ini juga saya suka Mbak tentang kebebasan waktu. Jadi saya bebas
menentukan kapan saya harus kerja, kapan saya harus liburan. Semua saya
yang menentukan sendiri. Saya biasanya kejar bonus itu, lalu nanti bisa
libur beberapa hari"
"Kapan aja liburnya Pak?"
"Saya
sih cari libur saat jam-jam kantor sibuk. Saya mulai kerja saat-saat
liburan, ya kayak sekarang besok kan tanggal merah, jadi buanyak sekali
orderan," katanya sumringah
Di titik ini saya semakin percaya apa yang kita fokuskan hal itulah yang menjadi kenyataan. Pak supir berfokus pada kedamaian dan kebahagiaan maka kedamaian dan kebahagiaan selalu menghampirinya.
Mobil
melaju memasuki kota Denpasar, saya mulai sibuk membaca pesan-pesan di
grup kantor yang belum sempat saya buka sejak pagi tadi.
"Bapak punya anak?" tanya saya setelah beberapa lama
"Istri saya lagi hamil Mbak"
"Oh ya? Wah, selamat Pak! Semoga lancar"
"Terimakasih
Mbak. Sebenarnya dia ingin kerja kantoran. Saya bukannya melarang dia,
tapi saya jelaskan bagaimana suasana kantor itu. Setelah saya jelaskan,
dia tetap mau kerja kantoran. Akhirnya saya buatkan lamaran, saya
antarkan ke kantor di tempat ada lowongan"
"Lalu?"
"Tidak ada panggilan sampai saat ini. Hahahahaha..."
"Hahahaha.. Wah itu karena doa buruk suami"
"Bukan
doa buruk Mbak, setelah lama tidak ada panggilan saya jelaskan lagi ke
dia. Saya sebenarnya tidak tega membayangkan istri saya dimarah-marah
oleh atasannya atau rekan kerjanya"
"Hmm.. masuk akal"
"Ya
kan, makanya saya sarankan usaha dirumah. Ternyata kue istri saya
banyak yang suka. Kalau ada acara-acara di dekat rumah pada banyak yang
pesan. Saat itu saya bilang ke dia : kan lebih enak begini. Dia sih
senyum-senyum saja"
Tidak terasa saya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Terburu-buru saya menelepon Adek agar dijemput.
"Halo, cepet jemput! Tuan putri gak boleh kena panas"
"MALES!!! YA YA!" jawaban dari seberang telepon
Pak supir tertawa terbahak-bahak.
(Tamat)
Be First to Post Comment !
Post a Comment