Iman, keyakinan, kepercayaan dan agama
adalah hal yang absurd dan takkan pernah habis untuk diperdebatkan.
Seseorang pernah bertanya dua pertanyaan
penting yang membuat saya membuat tulisan ini.
Ia bertanya kepada saya,
Bagaimana jika kebenaran yang sebenarnya adalah Tuhan tidak pernah ada?
Bagaimana jika semua kitab suci dan cerita agamamu adalah fiksi belaka?
Saat pertama kali mendapatkan pertanyaan tersebut, dada saya terasa sesak, tenggorokan saya
tercekat dan alis saya otomatis berkerut. Serta pikiran-pikiran saya berbicara sendiri tanpa henti, tanpa terkendali.
Bagaimana bisa ada orang yang mempertanyakan sesuatu yang saya anggap
kebenaran mutlak? Sungguh kurang ajar mengatakan ajaran agama saya adalah hanya
karangan fiksi yang artinya secara tidak langsung mengatakan selama ini saya
beriman pada sebuah omong kosong tiada arti.
Hal-hal sejenis itu terus berkeliaran di kepala sampai pada pertanyaan menyerang personal
terlontar, memangnya dia siapa? Hanya seorang “bocah” yang bukan pemuka agama,
bukan penekun spiritual, bahkan sampai sekarang saya tidak tahu dia percaya
atau tidak dengan adanya Tuhan.
Tapi
setelah pertanyaan ini mengendap
bertahun-tahun, saya tidak reaktif lagi dengan pertanyaan tersebut
karena
menyadari bahwa secara rasional kemungkinan kebenaran dari pertanyaan
itu memang ada dan bisa saja terjadi. Seiring berjalannya waktu, dua
pertanyaan itu menjadi perenungan
yang sangat dalam dan lama. Dua pertanyaan tersebut, yang awalnya adalah
penghinaan terhadap Tuhan menjadi dua pertanyaan yang sangat berarti
dan penting di dalam hidup saya.
Jika Tuhan Tidak Pernah Ada
Jika suatu hari terbukti bahwa para atheist itu benar dan Tuhan
memang sebenarnya tidak ada, maka tidak akan menjadi masalah untuk saya karena saya akan menjadi seorang atheist yang beriman.
Coba pikirkan ini :
Karena saya butuh orang lain dengan kekuatan dan kasih yang tiada batas sebagai tempat saya mengadu dan berkeluh kesah. Saya tidak bisa mengharapkan manusia karena manusia memiliki keterbatasan dan menurut pengalaman, sesempurna apapun manusia suatu saat pernah mengecewakan.
Saya juga tidak bisa berharap pada diri sendiri dengan segala kekurangan yang sudah diketahui dan kelemahan yang sudah tak asing lagi. Diri sendiri tidak bisa memotivasi, setidaknya saya harus punya teman imajiner untuk melakukannya lagi dan lagi.
Jika Tuhan tidak ada, saya tetap memilih percaya bahwa Tuhan itu ada. Saya akan tetap menciptakan ilusi di dalam pikiran saya sendiri untuk memudahkan saya menjalani hari-hari dengan Tuhan baik hati yang sudah saya ciptakan sendiri. Sehingga saya merasa aman, tentram dan begitu percaya bahwa ada kekuatan yang selalu membantu saya menghadapi dunia.
Saya tahu Tuhan itu tidak ada namun dengan penuh kesadaran saya tetap menciptakan Tuhan di dalam pikiran saya dan terus beriman kepadanya.Mengapa?
Karena saya butuh orang lain dengan kekuatan dan kasih yang tiada batas sebagai tempat saya mengadu dan berkeluh kesah. Saya tidak bisa mengharapkan manusia karena manusia memiliki keterbatasan dan menurut pengalaman, sesempurna apapun manusia suatu saat pernah mengecewakan.
Saya juga tidak bisa berharap pada diri sendiri dengan segala kekurangan yang sudah diketahui dan kelemahan yang sudah tak asing lagi. Diri sendiri tidak bisa memotivasi, setidaknya saya harus punya teman imajiner untuk melakukannya lagi dan lagi.
Jika Tuhan tidak ada, saya tetap memilih percaya bahwa Tuhan itu ada. Saya akan tetap menciptakan ilusi di dalam pikiran saya sendiri untuk memudahkan saya menjalani hari-hari dengan Tuhan baik hati yang sudah saya ciptakan sendiri. Sehingga saya merasa aman, tentram dan begitu percaya bahwa ada kekuatan yang selalu membantu saya menghadapi dunia.
Jika
Kitab Suci dan Cerita Agama adalah Fiksi Belaka
Apa itu fiksi, apa itu nyata?
Ketika semua di dalam pikiran bukankah semua adalah ilusi semata?
Saya tidak perduli apakah cerita-cerita indah penuh kasih yang bersumber dari kitab suci atau cerita agama itu fiksi ataukah nyata. Bukan pada kebenarannya yang menjadi fokus utama tapi kepada apa makna yang bisa diambil dari kitab suci atau cerita tersebut.
Lagipula, manusia hanya bisa hidup di hari ini saja, bukan di hari kemarin dimana artinya tiada penting apakah itu nyata atau hanya karangan belaka. Makna, bisa diambil dari cerita apa saja baik nyata atau rekayasa. Dan yang paling penting, tentu seberapa besar cerita-cerita itu bisa berdampak baik bagi hidup kita.
Pertemuan Kembali
Setelah saya tahu jawabannya, dengan jumawa saya kembali bertemu dengan orang yang mengajukan dua pertanyaan itu pada saya. Ia hanya tersenyum, tanpa berkomentar apapun selama saya menjelaskan jawaban yang sudah saya pikirkan sekian lama dengan matang.
Beberapa menit telah berlalu setelah saya berkotbah dengan bijak ala pemuka agama, ia masih tersenyum saja dan membuat saya kesal.
Saya balik bertanya bagaimana menurutnya jawaban saya dan dia hanya menjawab
Teruslah bertanya dan bertanya dan cari jawabannya. Namun jika kepercayaan atau agamamu melarangmu untuk bertanya, mungkin ada hal yang disembunyikan di dalamnyaSaya diam melongo lalu ia beranjak dan pergi tanpa pernah saya lihat lagi.
Hingga hari ini.
Be First to Post Comment !
Post a Comment