sebuah catatan perjalanan belajar menjadi manusia

Selebaran Intoleransi Masa Kini

Saat itu di suatu hari di pukul 06.00, saya kecil yang baru bangun tidur langsung menghidupkan televisi. Saya berharap ada acara anak-anak, namun malah sebuah ceramah salah satu agama yang sedang tayang. Saya mendengarkannya dan ibu yang saat itu sudah lebih dahulu bangun ikut menonton dan berkata,
semua agama sama saja, mengajarkan kebaikan  

Lalu kami menonton ceramah itu berdua.

Saat itu di hari yang lain di pukul 14.00, saya sudah pulang sekolah dan sudah menyantap makan siang. Televisi menjadi satu-satunya hiburan dan ternyata sedang tayang serial televisi bertema keagamaan. Tanpa berkata-kata, ibu saya ikut menontonnya. Sejak saat itu serial itu menjadi tontonan wajib kami walaupun ada beberapa bagian yang tidak kami mengerti karena bukan ritual agama sendiri.

Saat itu di hari yang lain di pukul 17.00, adanya selebaran yang menggemparkan orang-orang di sekitar. Tetangga-tetangga mulai berbisik-bisik dan khawatir. Selebaran itu berisi kata-kata provokasi, menghina agama kami dan tertulis suatu rencana satu agama untuk menguasai daerah ini. Saya merasakan keresahan orang-orang dewasa dengan adanya selebaran yang tersebar masif di seluruh wilayah. Entah siapa yang membuatnya dan menyebarkannya, masih menjadi misteri hingga kini. 

Selembar kertas itu diperbanyak dan disimpan di masing-masing rumah dan menjadi sebuah titik terkikisnya rasa toleransi kami. Kami dan agama kami yang jumlahnya minoritas di Indonesia ini, merasa terancam oleh selembar kertas yang tidak jelas asal muasalnya. Sesuatu yang tidak kami sangka akan menenggelamkan segala prasangka baik beberapa dari kami kepada umat yang berbeda.

Setiap berkumandang doa-doa agama tersebut di televisi, kami mulai mengecilkan atau malah mematikan televisi. Begitu pula ketika ada tayangan televisi berbau agama lain lebih baik kami memindahkan saluran disertai beberapa gumaman. Begitu hebatnya kekuatan kata-kata dari satu selebaran. Lalu mulai ada perbicangan-perbincangan keagamaan di tengah obrolan yang biasanya ringan, lalu mulai adanya sesuatu yang dikait-kaitkan seperti pantas saja umat mereka tidak mau makan makanan kita dan sebagainya.  Namun tentu tidak semuanya, ada pula yang menganggap selebaran itu hanya surat kaleng biasa dan tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.

Saat itu di hari yang lain Bom Bali meledak. Malam itu saya sedang kemah di dekat pantai, terbangun mendengar kabar buruk tersebut. Pariwisata menurun drastis, beberapa Negara melarang warganya bepergian ke Bali. Belum perih luka, ternyata Bom Bali 2 meledak. Namun yang lebih menyakitkan, setelah diusut ternyata pelaku adalah teroris yang membawa-bawa nama agama sebagai dasar perbuatannya.

Saya teringat ibu saya yang menyebut semua agama sama, mengajarkan kebaikan. Adakah pelaku-pelaku itu sedang tersesat dalam agamanya sendiri? Ataukah memang agamanya mengajarkan untuk membunuh dan membenci? Beberapa orang mulai membenarkan selebaran yang dulu pernah beredar. Cepat atau lambat kami yang minoritas akan punah dan binasa jika tidak cepat bertindak. Kebencian mengudara, menyusup ke dalam masing-masing hati beberapa orang di dalam sunyi.  

Kini saya bukan anak kecil lagi, namun selebaran intoleransi itu tetap ada dan tersebar dalam format yang berbeda dengan jumlah yang tak terhingga. Selebaran itu bukan lagi berbentuk kertas dan disebarkan secara manual, namun berupa artikel, postingan, video dan lainnya yang beredar di dunia yang kini serba digital. Bentuknya beda namun isinya sama saja memprovokasi, menghina dan mengajak orang-orang untuk membela Tuhannya sendiri-sendiri hingga akhirnya saling membenci.  

Ajakan terang-terangan ataukah manis terselubung, serta beragam cara lain dengan mudah bisa diakses dengan jari. Semua mengklaim kebenaran dan ingin mencerahkan orang-orang yang tidak satu pemikiran. Dari soal makanan sampai diskriminasi berjualan. Dari segi pakaian sampai sebutan Tuhan. Dari segi perayaan keagamaan sampai ke keuangan dan pemerintahan. Semua tiba-tiba menjadi topik pembicaraan dan perdebatan.  

Lalu kemudian muncul suatu pemikiran.

Ya, namanya juga keyakinan. Kalau tidak yakin ya takkan dipertahankan. Fanatisme sempit ternyata bukanlah suatu kebodohan seperti yang awalnya saya pikirkan. Fanatisme sempit adalah sebuah ketidaksadaran. Bahwa apa yang dibelanya mati-matian belum tentu penting dan cocok untuk orang lain. Belum tentu pula orang lain butuh pencerahan. Siapatahu yang merasa paling benar itu yang sedang tersesat dalam batasan-batasan sebenarnya tiada dikenal.  

Zaman kini, para oknum intoleran yang mengatas namakan agama dan pembelaan Tuhan tidak perlu bersusah payah lagi. Banyak orang dengan mudahnya terprovokasi bahkan oleh satu dua selebaran maya berupa tulisan yang mampu memecah belah bangsa. Namun situs dan postingan toleran juga mulai banyak bermunculan. Beginikah cara hidup membuat sebuah keseimbangan?

Baik dan buruk memang harus berdampingan.  Perang yang kini kita hadapi kini bukan dengan senjata namun dengan kata-kata. Perang yang harus kita menangi saat ini ada di dalam diri sendiri, tentang konsep baik dan buruk yang terdistorsi oleh keyakinan sendiri.

Salam semangat untuk pejuang cyber kebhinnekaan.

Saya masih percaya semua agama memang sama mengajarkan kebaikan.

Semoga kepercayaan ini bisa kekal.
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature