Saat itu saya masih kuliah dan
praktek di kabupaten lain yang mengharuskan saya untuk tinggal di sana selama
satu bulan. Biasanya ketika mendapat tempat praktek di kabupaten lain, saya
akan mencari kamar kost yang berupa kamar terpisah dengan tuan rumah dan
tinggal bertetangga dengan teman-teman yang kebetulan mendapat tempat praktek
disana. Namun karena beberapa hal, pertama kalinya saya harus tinggal bersama
dengan tuan rumah dengan cara mengontrak satu kamarnya sehingga mau tidak mau
saya juga ikut melihat apa-apa saja yang terjadi dalam keseharian keluarga
tersebut.
Keluarga itu terdiri dari pasangan muda yang tinggal bersama orang tua pihak laki-laki. Mereka telah dikaruniai 2 orang anak laki-laki, anak pertama berumur sekitar 5 tahun, anak kedua berumur sekitar 6 bulan. Sang kakek dan nenek memiliki usaha rumah makan yang berada tepat di depan rumah, sang ayah bekerja swasta, pergi pagi dan pulang sore menjelang malam, sementara sang ibu adalah ibu rumah tangga yang saya taksir baru berusia 25 tahun karena tampak sangat muda. Keluarga ini tampak rukun dan biasa-biasa saja. Saya menjalani tugas dan kesibukan yang padat sebagai mahasiswa dan tidak tertarik untuk turut campur di keluarga mereka walaupun kami tinggal satu atap. Namun sebuah celetukan iseng teman sekamar saya begitu mempengaruhi saya, “Lihat, lantainya kotor sekali sejak pagi tidak dibersihkan. Menurutku dia gagal jadi menantu”. Dengan pemikiran saya waktu itu, saya mengangguk-angguk mengiyakan.
Saat itu musim hujan. Lantai di
teras rumah tampak kotor akibat becek, ditambah mobilitas yang tinggi keluar
masuk melayani pembeli di rumah makan membuat jejak-jejak hitam semakin
terlihat. Bagaimana bisa seorang menantu yang tinggal bersama mertuanya bisa
demikian kotornya memperlakukan rumah mertuanya? Bagaimana bisa seorang ibu
rumah tangga yang kerjanya di rumah saja tidak bisa menciptakan suatu ruang
yang bersih di dalam rumah untuk anak-anaknya? Tidakkah ada inisiatif untuk
bersih-bersih? Saya bahkan menambahkan sebuah pemikiran, bahwa ia juga sudah
gagal menjadi ibu. Lama-kelamaan saya mulai penasaran dan mulai mengamati
keseharian ibu muda dalam keluarga ini.
Pukul 5 pagi hari saat saya
bangun, si ibu dan sang nenek sudah terlebih dahulu bangun dan memasak. Mereka
menyiapkan bahan untuk rumah makan dan untuk keluarga sambil bercengkrama
dengan akrabnya. Beberapa saat kemudian anak-anak bangun dan dibuatkan susu. Sempat
ibu keluar sebentar untuk membeli kekurangan bahan yang diperlukan lalu kembali
lagi. Sang ayah siap-siap untuk berangkat bekerja dan kakek menyiapkan peralatan
di rumah makan. Di pagi hari yang damai dimana saya bangun dengan malas dan
menyeret kaki ke kamar mandi, mereka sudah sibuk sekali.
Sepulang saya dari dinas, Ibu
muda itu tampak bercengkrama dengan anak-anaknya. Saya melihat lantai masih
sangat kotor dan ia tampak tak memperdulikannya. “Duh! Kalau saja ia tau berapa
banyak kuman yang ada di lantai yang kini mirip kerak menghitam itu, pasti dia
akan membersihkannya,” pikir saya waktu itu sambil ke kamar dan mengganti baju.
Setelah makan dan tiduran beberapa saat, saya kembali ke rutinitas saya sebagai
mahasiswa yang berkutat dengan tugas.
Esok harinya, hal yang sama
terulang kembali. Ternyata Si Ibu pergi ke pasar terlebih dahulu sebelum
memasak di setiap hari. Karena hari itu masih terlalu pagi, saya duduk-duduk
saja menikmati udara segar di teras kamar. Saya memperhatikan semuanya dari
kejauhan. Pagi itu, saya melihat lebih jelas, paras seorang menantu yang
bercerita pada mertuanya dengan akrab seperti teman karib. Pagi itu, saya
melihat lebih jelas, paras seorang ibu muda dari anak-anak yang setiap hari riang
bermain-main tanpa khawatir. Pagi itu, saya melihat seorang wanita muda yang kurus
dengan dua anak yang begitu semangatnya memotong rempah, meracik sayur, sambil
sesekali mengecek anak sulungnya di kamar, dan menggendong anak satunya menyusu.
Lantai itu masih teronggok kotor seakan tak pernah ada, sementara tawa mertua
dan menantu terdengar bersahutan dengan kokok ayam yang mulai membahana.
Pagi itu, saya baru tersadar
bahwa saya hanya orang luar yang suka mengamati namun tidak tahu apa-apa
tentang mereka. Mengapa cepat sekali diri ini memberi penghakiman dan pelabelan
“Ia menantu yang gagal” serta “Ia ibu yang gagal” hanya dari sebuah indikator
yaitu lantai yang kotor? Bersyukurlah bila ada banyak ibu di luar sana yang
terbantu urusan kebersihan di rumah tangga dengan bantuan Asisten Rumah Tangga
(ART) namun bagaimana dengan mereka yang tidak mampu membiayai ART, atau
memilih untuk tidak menggunakan ART karena alasan-alasan tertentu? Mungkinkah
kebersihan itu tetap terjaga sementara banyak sekali tugas-tugas yang lainnya?
Saya sadar sayalah salah satunya
orang yang dikatakan oleh para ibu dalam kalimat “apa kata orang kalau rumah
kotor?” Tapi Ibu itu, memilih memprioritaskan hal-hal lain daripada lantai
rumahnya yang kotor.
Penghakiman orang yang seperti saya
berikanlah yang salah satunya menciptakan para ibu perfectionist : suami terurus, anak sehat, rumah bersih, masakan
enak dan semuanya sempurna! Hingga ketika ada satu saja yang kurang, stress dan
depresi yang akan melanda. Hingga ketika ada satu yang belum dikerjakan, ibu
akan memforsir tenaga, menghabiskan waktu, sehingga tak pernah menikmati hidupnya.
Saya belajar berhenti menghakimi walau hanya dalam hati, dan berjanji kapanpun
melihat sebuah rumah yang tidak tertata rapi saya tidak akan pernah peduli. Karena
kebahagiaan adalah yang hakiki dan itu ada di dalam masing-masing hati.
Esok harinya, ketika saya datang praktek
dinas, lantai rumah sudah bersih dan berkilau. Saya melihat ibu muda itu sedang
tertawa bermain bersama anak-anaknya di dekat kamar saya. Saya tersenyum, ibu
itu pun membalas senyum.
Be First to Post Comment !
Post a Comment