sebuah catatan perjalanan belajar menjadi manusia

Ingin Kembali ke Masa Kecil?

Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat berkata pada saya. Dia yang entah ada angin apa tiba-tiba mengemut permen lolipop seperti anak-anak dan berkata, "tak ada yang lebih indah dari menjadi anak-anak. Tak ada yang mengalahkan kebahagiaan saya saat berkejaran dengan teman masa kecil menangkap capung" katanya tersenyum. Mungkin senyumnya itu menandakan ia sedang membayangkan kebahagiaan masa lalunya. Entahlah saya harus bersimpati atau mengiyakan, yang saya tangkap adalah terlihat sebuah pertahanan ego regresi yaitu kembali menjadi anak-anak. 


Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai keinginan, ketika terjadi sesuatu yang membuat manusia merasa tidak nyaman, ketika hal-hal tidak mengenakkan terjadi... memang banyak reaksi yang ditimbulkan untuk menyeimbangkan itu semua. Mungkin salah satunya adalah ingin pergi dari keadaan saat ini dan menjadi orang lain, dalam hal ini ingin menjadi dirinya di masa lalu. Saya menjadi tahu, dengan berkata seperti itu tersirat ia sedang ada masalah. Saya menjadi paham, bahwa mungkin beban yang dipikulnya dirasakan terlalu berat. 

"Menjadi anak-anak...," lanjutnya 
"... Tidak peduli mau dunia krisis mau apapun yang terjadi. Hanya bermain dan bahagia" katanya sambil tetap mengemut lolipop. 

Sahabat saya yang satunya tiba-tiba berkata menimpali "Ah, dulu waktu anak-anak kita juga ingin cepat-cepat dewasa" 

Saya tersenyum kecil. Anak-anak ingin cepat dewasa, orang dewasa ingin kembali menjadi anak-anak. Jika itu terkabulkan, Apa jadinya jika pemikiran anak-anak berada dalam tubuh orang dewasa dan pemikiran orang dewasa terkurung dalam tubuh anak-anak? Akankah kita bahagia? Saya kemudian teringat film komedi 13 going on 30 yang dibintangi oleh Jennifer Garner tahun 2004. Disana diceritakan seorang gadis yang sangat ingin menjadi dewasa dan suatu hari benar-benar terkabul bahwa ia menjadi dewasa seketika. 

Di akhir cerita ia malah ingin kembali menjadi anak-anak karena ia belum mampu hidup di dunia dewasa. 


Saya mulai membatin, memang benar saat masih kecil rasanya hal-hal yang membuat stress hanyalah hal-hal kecil. Dulu kala mungkin permasalahan kita sebatas PR matematika saja namun sekarang yang kita hadapi Matematika yang lebih kompleks beserta penerapannya : Ilmu Ekonomi. Tapi itu sepadan dengan kemampuan kita untuk menyelesaikannya. Saya percaya Tuhan menciptakan sesuatu yang bertumbuh sesuai kapasitasnya.

Mau tidak mau saya juga teringat masa kecil saya dan terbesit sebuah cerita menarik. Ketika saya merasa sakit perut ingin buang air sepulang sekolah, namun jarak rumah saya masih jauh (dan harus saya tempuh dengan berjalan kaki) saya secara acak melihat seseorang yang saya temui dan berkata dalam hati : "enak sekali menjadi dia, tak perlu merasakan sakit perut seperti saya sekarang". Padahal yang saya lihat adalah seorang ibu-ibu pedagang tua, yang jika dilihat dari kehidupan keseluruhan tentu saya lebih memilih jadi diri saya sendiri. Tapi saat itu saya ingin jadi dia karena saya sakit perut dan menderita! Dan lagi.... Saking sakitnya saya tak sempat berpikir sakit perut itu wajar agar hal yang tidak kita butuhkan bisa keluar. Hahaha... 

Mungkin seperti itulah yang dirasakan sahabat saya sekarang ini, melihat orang lain lebih bahagia hanya dari satu cuplikan peristiwa, "enak sekali diriku waktu kecil bermain capung dan tertawa dengan riang". Sebenarnya dengan mengubah sedikit sudut pandang mungkin bisa membuat suasana hatinya lebih baik. Saat itu mungkin dia berbincang dengan dirinya di masa lalu "hey, aku iri padamu". Jika saja ia mau mengubahnya menjadi "hey, lihatlah aku sekarang dan pekerjaanku, kau pasti tak menyangkanya kan? Kau pasti bangga bahwa di masa depan aku se-sukses ini kan?"


Manusia memang pada dasarnya ingin bahagia, tapi jika segalanya mudah dan semua yang kita inginkan dengan gampangnya kita dapatkan, akankah kita mengenal sebuah kata yaitu syukur? Ingin sekali saya memberikan saran karena saya begitu mengasihinya, namun bukan kapasitas saya untuk mengatakannya saat itu. Sebuah pertemuan yang singkat yang membuat saya berdoa apapun itu yang membuatnya ingin kembali menjadi anak-anak, semoga ia bisa menyelesaikannya. 

Di perjalanan menuju ke rumah melewati hamparan sawah hijau lengkap dengan orang-orangan sawah dan burung-burung nakal, saya mulai bertanya pula pada diri sendiri, "Apakah saya juga ingin kembali menjadi anak-anak?" 

Saya menyahut sendiri, "Tidak. Masa lalu mungkin indah untuk dikenang, tapi bukan tempat yang baik untuk tinggal"

whatever will be will be ....
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature